بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Mandi bagi yang Telah Memandikan Jenazah
Ustadz Iwan Darmawan Hafidzahullah
(Karya Syaikh Ahmad bin Husain bin Ahmad al Ashfahani Abu Syuja’ Rahimahullah Ta’ala)

Muqadimmah
Kita bersyukur kepada Allah yang mana sampai dengan hari ini Allah masih memberikan kita kesehatan diatas ketaatan.
Kesehatan ini akan dihisab, seperti hal nya usia ataupun harta yang diberikan kepada kita. Sebagian dari kita terkadang lupa, bahwa kesehatan ini akan dihisab. Sedangakan yang namanya hisab itu menyeluruh, karena nya jika seseorang sakit baru ada rukhsah (keringanan). Misalnya, ketika sakit tidak bisa berdiri untuk Shalat, maka bisa duduk. Namun apabila pura-pura sakit, itu dosa.
Maka ada kaidah, barangsiapa mengambil rukhsah tanpa ada uzdzur maka ia telah berbuat dosa. Oleh karenanya, berdoalah kepada Allah agar kesehatan ini mendatangkan keberkahan, Allah tambahkan kekuatan agar bisa melaksanakan ketaatan dan pula dalam mendekatkan diri kepada Allah.
——————————–
Mandi yang dihukumi Sunnah ada 17 macam mandi, yakni yang selanjutnya Mandi setelah memandikan Jenazah.
Imam Ibnul Qayyim, Imam Al Ghazali Rahimahullah menyebutkan;
Barangsiapa yang hatinya ingin lembut, tapi dengan membaca Quran tidak bisa, dengan Dzikir tidak bisa, maka cobalah dengan mengurus Jenazah.
Ancaman untuk orang yang belum pernah memandikan Jenazah, disampaikan oleh Imam Ibnul Qayyim bahwa ia adalah orang yang sangat lalai.
Memandikan jenazah itu pahala nya luar biasa.
Para Ulama mengatakan, apakah hukum mandi setelah memandikan Jenazah wajih atau tidak?
Dalam bahasan para Ulama, begitu pentingnya mandi setelah memandikan Jenazah, salah satunya dalam Madzhab Syafi’i banyak Ulama yang menghukumi wajib.
Dalam sebagian Madzhab Imam Ahmad, orang yang memandikan, mengkafani, dan terutama ia memasukkan jenazah ke liang lahat, janganlah orang yang pada malam harinya sudah berjima’ dengan istrinya karena orang yang ia pada malam hari sudah melaksanakan Jima’, masih terngiang perbuatan Jima’ nya sehingga ia tidak khusyu mengingat kematian.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ غَسَّلَ الْمَيِّتَ فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Barangsiapa memandikan mayit, maka hendaklah ia mandi. Barangsiapa yang memikulnya, hendaklah ia berwudhu.”
(HR. Abu Daud no. 3161. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dalam hadist tersebut terdapat Lafadz ‘Amr (perintah) menunjukan wajib. Maka orang yang memandikan Jenazah hukum asalnya wajib mandi, orang yang membawa Jenazah wajib wudhu.
Akan tetapi yang Rojih dalam hukum ini adalah Mustahabah (Sunnah), karena banyak dalil yang lain yang menunjukkan bahwa tidak sampai ke dalam taraf hukum wajib.
Kapan sebuah hukum itu di katakan hukum wajib?
Wajih itu ada 2; wajih dikerjakan dan wajib ditinggalkan.
Maka ketika ada perkataan yang ia menunjukkan perintah untuk mengerjakan, andaikan ia hukumnya wajib maka biasanya diselingi dengan pahala atau ancaman, apabila kewajiban itu ditinggalkan.
Jadi mandi bagi orang yang memandikan Jenazah itu Sunnah.
Maka, bagi keluarga Jenazah ketika selesai memandikan Jenazah tersebut, beri waktu orang yang memandikan Jenazah tadi untuk mandi, sampai orang itu siap untuk menshalati Jenazah. Jangan meremehkan keadaan kebersihan kita ketika Shalat, baik Shalat Fardhu atau Sunnah.
Karena kondisi terbaik kita ketika Shalat, bisa menjadikan sebab Shalat kita diterima. Sama hal nya dengan kondisi ketika berdoa, keadaan terbaik ketika berdoa itu sebab terbesar doa itu di ijabah. Ketika menuntut Ilmu, style kita itu menunjukkan apakah ilmu itu mudah difahami atau tidak.
3. Mandi Karena Masuk Islam
Begitu pula jika orang kafir masuk Islam, maka ia diperintahkan untuk mandi. Hal ini berdasarkan hadits Qais bin ‘Ashim, ia berkata,
أَتَيْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أُرِيدُ الإِسْلاَمَ فَأَمَرَنِى أَنْ أَغْتَسِلَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ.
“Aku pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku ingin masuk Islam. Lantas beliau memerintahkan aku mandi dengan air dan bidara.”
(HR. Abu Daud, no. 355; Tirmidzi, no. 605; dan An-Nasa’i, no. 188. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih). .
Rasulullah Shallallahu’alayhi wa Sallam memerintahkan nya akan tetapi tidak wajib. Karena selama Nabi Shallallahu’alayhi wa Sallam hidup, yang masuk Islam itu banyak, bahkan yang memgikuti Fathu Mekkah saja 140.000 orang, ini menunjukkan banyak nya orang yang masuk Islam.
Akan tetapi, Nabi Shallallahu’alayhi wa Sallam tidak menyuruh semuanya untuk mandi.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
جَاءَ أَعْرَابِىٌّ فَبَالَ فِى طَائِفَةِ الْمَسْجِدِ ، فَزَجَرَهُ النَّاسُ ، فَنَهَاهُمُ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – ، فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ ، فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ
Ada seorang Arab Badui pernah memasuki masjid, lantas dia kencing di salah satu sisi masjid. Lalu para sahabat menghardiknya. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang tindakan para sahabat tersebut. Tatkala orang tadi telah menyelesaikan hajatnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas memerintah para sahabat untuk mengambil air, kemudian bekas kencing itu pun disirami. (HR. Bukhari, no. 221 dan Muslim, no. 284)
Ternyata orang Badui itu, mencari orang yang bernama Muhammad, kemudian orang itu masuk Islam di Masjid.
Ketika ia masuk Islam, Nabi Shallallahu’alayhi wa Sallam tidak memerintahkan ia intuk mandi, namun ia langsung pergi menuju Qobilahnya. Ini menunjukan bahwasannya mandi setelah masuk Islam itu tidak wajib.
Makanya Islam dikenal sebagian Agama Taubat.
Dalam Islam taubat itu wajib tapi mandi taubat itu tidak wajib.
Setiap kali kita melakukan dosa pun tidak selalu kita untuk mandi. Sama hal nya dengan orang kafir yang masuk Islam. Apakah orang tersebut bermaksiat? Tentu bermaksiat, akan tetapi kemaksiatan ini bukan berarti menjadikan dalil bahwa mandi ketika seseorang masuk Islam itu wajib.
Makanya setiap maksiat yang dituntut itu adalah taubatnya.
Dalam syarat taubat itu tidak ada mandi.
Para Ulama menjadikan seorang yang kafir kemudian masuk Islam, maka maksiatnya sama dengan maksiat yang lainnya.
4. Mandinya Orang yang Sembuh dari Gila dan Orang yang Bangun dari Pingsan
Imam Syafi’i Rahimahullah mengatakan “tidaklah orang yang ia kehilangan akalnya, kecuali ia mengeluarkan mani’nya”
Jadi orang yang hilang akal itu banyak mengeluarkan mani’ nya.
Sehingga para Ulama mengatakan “Jika orang yang gila keluar mani seperti kebanyakan manusia, maka wajib baginya mandi”
Untuk menepis keragu-raguan kita, ada/tidaknya mani tersebut maka harus dibuktikan.
Jumhur Ulama mengatakan bahwa hukum mandi oramg yang sembuh dari gila ini Sunnah.
Yang membedakan mandi Wajib dan Sunnah adalah niat.
Contoh, ketika kita mandi Junub lalu kita mandi Sunnah, maka hadastnya tidak hilang karena niatnya dengan niat Sunnah.
5. Mandi Ketika Ihram
وَعَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ ( { أَنَّ اَلنَّبِيَّ ( تَجَرَّدَ لِإِهْلَالِهِ وَاغْتَسَلَ } رَوَاهُ اَلتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ
Dari Zaib bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas pakaian ketika ihram lalu bertalbiyah (ihlal), lalu mandi. (Hadits ini hasan diriwayatkan oleh Tirmidzi) [HR. Tirmidzi, no. 830. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan mengatakan bahwa hadits ini didhaifkan oleh ‘Uqaili dan Ibnu Ma’in].
Disunnahkan bagi perempuan mandi untuk berihram, sekalipun ia sedang haid atau nifas.
Wanita yang mendapati haid sebelum ihram mungkin saja ia berihram walau dalam keadaan haid. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan kepada Asma’ binti ‘Umais (istri Abu Bakr radhiyallahu ‘anhuma) ketika ia mendapati nifas di Dzulhulaifah, ia diperintahkan untuk tetap mandi, memahai pakaian ihram lalu berihram. Begitu pula wanita haid, ia pun tetap berihram hingga ia suci, lalu ia thowaf di Baitullah dan bersa’i.
(HR. Muslim, Kitab Al Hajj, Bab Haji Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam no. 2137)
Tidak ada bedanya, apakah ia orang berakal atau gila. Apakah ia anak kecil, atau sudah baligh. Maka apabila karena udzur syar’i ia tidak bisa mandi, maka diganti dengan tayamum.
Imam an Nawawi Rahimahullah mengatakan
“Bila seseorang tayamum lalu berwudhu itu lebih baik, akan tetapi bila orang tersebut hanya bisa menggantinya dengan wudhu saja itu tidak baik, karena yang diminta itu mandi, bukan wudhu. Berbeda dengan tayamum, maka bisa mencukupinya”
6. Mandi Ketika Memasuki Mekkah
Baik ketika menunaikan Ibadah Umrah/Haji, ataupun karena hal lain ia tetap di sunnahkan untuk mandi.
وَعَنْ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا: { أَنَّهُ كَانَ لَا يَقْدُمُ مَكَّةَ إِلَّا بَاتَ بِذِي طُوَى حَتَّى يُصْبِحَ وَيَغْتَسِلَ, وَيَذْكُرُ ذَلِكَ عِنْدَ اَلنَّبِيِّ ( } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia datang ke Makkah kecuali sebelum bermalam di Dzu Thuwa hingga pagi dan mandi. Ia menyebut hal itu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 1573 dan Muslim, no. 1259]
Sedikit mengingatkan, ketika kita keadaan Ihram jangan memakai wewangian sama sekali.
Mandi ini disunnahkan bukan hanya ketika memasuki kota Mekkah saja, akan tetapi ketika ia keluar kota Mekkah pun sama saja, di sunnahkan untuk mandi.
7. Mandi Ketika Melaksanakan Wukuf di ‘Arafah
Hal ini pernah di lakukan oleh Ibnu Umar.
Dan diriwayatkan dari Ibnu Khaal (Anak paman Nabi Shallallahu’alayhi wa Salam) bahwasannya wukuf di ‘Arafah itu tempat berkumpulnya manusia seperti berkumpulnya manusia pada Shalat Jumat.
Ini salah satu cara Allah menjaga kehormatan kita, bila kehormatan kita terjaga maka derajat kita terangkat.
8. Mandi Ketika Melempar Jumrah
Yakni pada hari Tasyrik, pada tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah.
Hendaklah mandi terlebih dahulu, disunnahkan mandi 3x karena hari tasyrik ini selama 3 hari.
Orang yang menuntut Ilmu harus pandai menjaga kehormatan nya, selama ia jahil maka ia orang yang tidak tahu cara menjaga kehormatan nya, maka belajar itu penting. Maka syari’at Islam itu menjaga kehormatan.
Menjaga kehormatan bukan hanya orang lain saja, termasuk diri kita juga harus dijaga kehormatan nya.
9. Mandi Bagi yang Thawaf
Baik Thawaf Qudum, Thawaf Ifadah, atau Thawaf Wada semuanya disunnahkan untuk mandi terlebih dahulu.
Disebutkan, Imam Syafii memiliki Qoul Qodim dan Qoul Jadim, Imam Syafii dalam Qoul Qadim menyebutkan mandi bagi yang Thawaf ini di Sunnahkan, sedangkan dalam Qoul Jadid kebalikan nya, Imam Syafi’i tidak mensunnahkan nya karena Ka’bah yang sekarang luas, akan tetapi dizaman sekarang banyak orang yang beribadah baik Haji atau Umrah.
Maka dalam hal ini kembali pada Jumhur Ulama, Imam Nawawi menyebutkan bahwa tetap dalam masalah Ibadah Haji atau Umrah tetap di sunnahkan untuk mandi dalam setiap rangkaian ibadahnya.
Abu Syuja mengatakan, bila tidak bisa mandi maka berwudhulah seperti apa yang pernah di lakukan Nabi Shallallahu’alayhi wa Sallam
10. Mandi Ketika Melakasanakan Bekam
Demikian pula ketika seseorang habis demam. Ini disebutkan oleh Imam Nawawi, dan disebutkan pula oleh Imam Syafi’iyyah, bahkan Imam Syafi’i menyebutkan bahwa “Saya menyukai untuk melaksanakan mandi dari berbekam, sehabis demam, dan segala sesuatu yang menjadikan badan ini berubah baunya”
Orang yang berkeringat banyak, maka bukan hanya di Sunnahkan untuk mandi tapi juga memakai wewangian.